Jee’s story

Tulisan pertama dan masih amatir, tapi tetap berharap semoga kalian suka =D

walaupun masih abal-abal tolong jangan copy-paste dan re-upload tanpa menerapkan sumber ya!^^

Read, enjoy, and comment!

Jee

Ini adalah hari pertamaku datang ke sekolah ini. Kulihat sekali lagi gedung yang akan menjadi tempat belajarku selama kurang dari dua tahun kedepan. Baiklah, gedung ini lebih besar dan mewah dari gedung sekolahku sebelumnya. Lapangannya terlihat lebih nyaman dan luas. Ini adalah kali kedua ku berpindah sekolah karena pekerjaan orang tuaku jadi aku sudah harus lebih mudah beradaptasi. Tempat baru, semoga banyak pengalaman baru yang menyenangkan tercipta disini!

“Jee?”

Apa ada yang memanggilku?

“Jee.. kan? Panggilanmu?”

Ah benar, ternyata ada yang mengajakku berbicara. Setelah sesi perkenalan singkat didepan kelas, aku langsung memilih tempat duduk kosong yang ada di samping jendela kelas. Pemandangan yang sungguh cantik, tapi sebenarnya aku kurang suka jika harus duduk jauh dari papan tulis.

“Ya. Kamu?” Ku ulurkan tangan dan senyum terbaik yang kumiliki pada teman baru ku ini. Mencoba bersosialisasi sebaik mungkin. Walaupun sudah sering berpindah tempat dari kecil, tahap bersosialisasi tetaplah sulit bagiku.

“Panggil Syfa saja” Ia balik membalas senyumku tak kalah ramah. Aku masih heran, bagaimana orang-orang bisa dengan mudahnya berkenalan-akrab-merasa cocok satu sama lain-lalu kemudian tetap berkelompok-kelompok dalam berteman? Saat pertama kali berteman, mereka semua tersenyum manis. Sangat manis malah. Tapi akhirnya? Yang sepemikiran, sepenanggungan,senasiblah yang pada akhirnya menjadi “sahabat”. Well, sebenarnya aku tidak begitu tertarik mengenai klasifikasi seperti itu dikelas. Hanya saja, mataku dan gejolak dalam hatiku selalu suka mengamati hal-hal semacam itu.

“Iya, Syfa” balasku lagi padanya. Kemudian, dengan senyum yang masih mengembang, dia mundur secara perlahan menemui teman-temannya. “Jangan sungkan bertanya padaku mengenai sekolah ini ” Katanya sebelum benar-benar berbalik meninggalkanku.

Aku memandangi punggung teman baruku dan teman se-gengnya tadi lamat-lamat. Baiklah, apa aku yakin akan bertanya pada nya melihat betapa berisik dan hebohnya segerombolan nya itu?

Don’t judge by the cover, Jee!

Aku terkekeh menanggapi pemikiranku sendiri. Ngomong-ngomong mengenai “cover” siapa yang tidak akan salah sangka jika sang pemilik sendiri yang memberi kesan “negative”? Masalah dia sebenarnya adalah malaikat tanpa sayang berhati bening seperti Kristal, siapa yang tau? Toh mereka sendiri juga beranggapan yang rajin menemui Tuhan selalu dianggap lebih suci, lalu apa salahnya beranggapan hal yang sama?

Sudah, sudah. Pemikiranku jika diperpanjang tak akan pernah selesai. Tapi kelas ini masih terasa hampa dan membosankan bagi orang baru sepertiku. Apa aku mendengar music saja ya untuk menghilangkan kesepian?

****

Sudah hari ke 64 aku berada di kelas ini. Dan setidaknya dapat kupastikan aku mulai hapal dan terbiasa dengan wajah dan nama teman-teman sekelasku. Yah walaupun aku terkesan cuek dan penyendiri, aku juga harus mengingat nama mereka baik-baik kan? Ayolah, aku bukan tipe gadis angkuh yang sombong dan kaya raya seperti di drama-drama. Aku biasa saja dari segi manapun. Terlalu biasa bahkan. Jadi tidak ada alasan bersombong-sombong seperti itu.

“Masih pagi jangan melamun” Ucap seseorang yang baru masuk ke kelasku. Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum terbaikku, berharap masih dinggap ramah. Karena aku tidak tau harus menjawab apa selain tersenyum.

Dia mendudukkan badannya dibangku yang tidak jauh dari tempat dudukku. Hanya berjarak dua meja. Aku tidak bisa bilang sudah akrab dengannya, tapi setidaknya kami cukup sering berkomunikasi. Terlebih lagi kami berada dilingkungan rumah yang sama. Jadi ya, dia teman seperjalanan pulangku.

Aku kembali menatap anak lelaki yang duduk didepanku tadi lamat-lamat, penasaran buku apa yang sedang dibacanya dan aku memutar bola mataku malas setelah tau di sedang terhanyut dengan buku Fisiologi Kedokterannya itu. Oh ayolah, kami masih kelas dua SMA dan dia sudah membahas buku Fisiologi Guyton dan Hall? Aku memang pernah dengar kalau dia ingin masuk jurusan kedokteran disalah satu universitas ternama di Indonesia. Tidak kusangka semangatnya semenggebu-gebu itu. Tapi setelah kuingat-ingat dia hanya sering membaca buku tentang fisiologi. Apa dia hanya tertarik pada cabang ilmu biologi ini saja? Ah entahlah.

Ngomogn-ngomong soal Fisiologi, aku sebenarnya cukup tertarik tentang ilmu ini. Fisiologi sendiri kajiannya dibagi atas fisiologi manusia, fisiologi tumbuhan dan fisiologi hewan. Pembahasannya juga menggunakan berbagai metode untuk mempelajari biomolekul, sel, jaringan, organ, sistem organ dan organisme secara keseluruhan menjalankan fungsi fisik dan kimiawinya untuk mendukung kehidupan. Dan hal ini tentu berperan sangat besar dalam bidang kedokteran. Aku pernah melihat buku karya Guyton dan Hall itu waktu ke rumah sepupuku sekedar membolak-baliknya. Buku itu membahas jantung, sirkulasi, cairan tubuh dan ginjal, pernapasan, bahkan ada juga fisiologi olahraga! Aku juga ingat sistem saraf A,B,C? Eh benar tidak? dan banyak lagi dengan bahasa-bahasa latinnya itu yang membuatku pusing. Walaupun aku suka pembahasan ini di pelajaran biologi, tapi aku belum terlalu bisa menerima pembahasan mendalamnya. Sudah kubilangkan aku hanya gadis yang sangat biasa.

Aku mengacak rambutku sendiri karena terlalu banyak berfikir padahal aku sadar kapasitas otakku tidak sebesar itu. Ngomong-ngomong soal kedokteran lagi, aku sebenarnya selalu kagum pada abang sepupuku yang berprofesi sebagai dokter bedah. Dan karna melihatnya aku jadi ingin memiliki suami seorang dokter hahaha. Dia sangat keren, percaya padaku. Apa karena wajahnya memang sudah tampan? Aku tidak bisa bayangkan berapa gadis yang patah hati karena menyukai abang sepupuku itu. Meskipun tampan, dia orang yang cukup cuek. Apa kebanyakan dokter seperti itu, ya? Dan apa lelaki didepanku ini juga akan seperti itu?

Secara fisik dia tidak bisa dikatakan biasa. Tingginya 170cm! Ku peringatkan lagi, kami masih kelas dua SMA dan pastinya tinggi itu akan bertambah. Selain itu dia memiliki kulit putih pucat yang kontras dengan mata coklat hazelnya. Sayangnya mata itu dibatasi kaca-kaca segiempat. Percayalah itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun. Jangan lupakan rambut coklat keemasannya. Kalau kau heran mengapa dia bisa setampan itu, dia berdarah campuran Belanda. Sial! ini masih pagi dan pikiranku sudah melayang membayangkan ketampanan seorang lelaki.

“huuh” Aku reflek mendengus sambil membuang pandangan kesamping. Menghindari pemandangan punggung indah didepanku. Indah? Buang pikiran konyolmu Jee!

***

Aku berjalan jarak beberapa meter dibelakang lelaki itu. Lelaki yang katanya ingin menjadi dokter itu –yang belum ku tahu dokter apa. Ini bukan kali pertama kami pulang bersama. Kami tidak pernah sungguh-sungguh berharap untuk pulang bersama, hanya terkadang saling berbasa-basi dan yah, tahu sendiri rumah kami searah. Lain lagi saat berpapasan dan terpaksa harus pulang beriringan. Kami memang cukup sering seperti ini dan ku akui aku cukup sering memperhatikannya. Entah cara berjalannya, aksennya, punggungnya, dan oh ya tentu saja cara dia membaca. Berbicara soal aksen, dia memiliki aksen yang cukup unik. Mungkin ayahnya masih sering memakai bahasa Belanda dirumah. Cara dia berkomunikasi dan menanggapi lawan bicaranya, siapa pun pasti tidak bisa lepas dari mata hazel itu.

“Jee” Nah seperti kali ini contohnya. Dia mendadak berbalik dan aku menghentikan langkahku secara reflek. Dia berjalan mendekatiku.

“Jee, kita sudah sering bertemu dikelas bahkan pulang bersama. Tapi setelah kupikir-pikir kita cukup jarang saling berbicara satu sama lain ya?” Kali ini dia berjalan tidak di depanku lagi tapi disampingku. Dan demi setumpuk anime dan drama-drama romance terkutuk yang sudah meracuni otak biasaku ini, kenapa disaat seperti ini aku bisa-bisa nya berkhayal bahwa aku tengah menjadi pemeran utama wanita dan dia, si pria yang akan menjadi jodoh didunia khayalku ini. Sungguh roman picisan. Ternyata ini efek buruk terlalu banyak menonton anime-drama ditambah cara berkhayal yang buruk.

“Ya, sepertinya begitu. Aku buruk dalam memulai obrolan” terlebih lagi dengan orang sepertimu –tambahku dalam hati.

Dia menyunggingkan senyumnya. Pemandangan yang sangat jarang terjadi. Ini adalah hari ke 95ku mengenalnya sebagai teman sekolah baru. Diantara sekian hari-hari itu aku bahkan yakin dia belum pernah memperlihatkan senyum tulusnya lebih dari… ehmm.. 20 kali  mungkin? atau 30? Okay, aku tidak benar-benar menghitungnya, hanya saja dia memang jarang melakukannya dan kira-kira perhitunganku segitu.

“Kalau begitu ayo menjadi lebih akrab mulai sekarang. Ku pikir kau cukup berbeda dengan teman-teman yang lain” Dia tersenyum lagi diakhir kalimat sihirnya itu. Jantungku berpacu sungguh cepat. A-aku, aku gugup hanya karena sebuah kalimat sebiasa itu? Otakku yang sungguh biasa ini seperti nya semakin terpuruk di stadium -2.

”Bagaimana memulainya?” Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut cantikku –yang bodoh ini.

“Benar juga. Menurutmu bagaimana? apa aku perlu menanyai cita-citamu?” Dia terlihat seolah-olah berfikir serius.

Cita-citaku menjadi isteri dari seorang dokter.

“Aku masih harus memikirkannya. Kalau kau bagaimana?”

“Aku ingin menjadi seorang dokter”

Aku tau, itulah kenapa aku selalu memperhatikanmu dan bahan bacaanmu itu. Apa ini artinya Tuhan memberiku clue tentang jodohku?Kau mulai lagi, Jee.

“Kenapa harus dokter? Jujur saja, tampang sepertimu memang mendukung. Tapi apa tidak ada hal lain selain dokter?” Kami masih berbincang dengan pandangan yang sama kedepan. Sama-sama berhenti menunggu lampu penyebrangan jalan berganti hijau. Rasa-rasanya jika aku bisa aku ingin menangkap angin, cahaya, atau suasana saat ini ditempat ini lalu memasukkannya ke botol kaca untuk berjaga-jaga jika nanti aku akan merindukannya aku bisa merasakannya lagi. Atau ku kutip saja daung kuning yang gugur disamping kakiku ini?

“Tidak ku sangka kau memperhatikan wajahku, Jee. Memangnya tampangku ini seperti apa?” Dia terkekeh geli ke arahku. Aku melihatnya masih dengan degup jantung yang tidak biasa. Semilir angin mengibas rambut kami dan seolah-olah berkompromi menghancurkan segala kinerja otakku. Mint. Bau parfum mintnya sangat kentara dihidungku, mungkin karna terbawa angin. Ya Tuhan, apa yang sedang kau rencanakan pada gadis penggemar drama-drama murahan yang membuatnya berkhayal semakin tinggi seperti ini?

Tentu kau tampan. Hanya orang bodoh dan iri saja yang tidak bisa melihat ketampananmu. Dan ku kira kau salah satunya yang bodoh. Eoh, atau kau sedang berusaha untuk menyombongkan dirimu, tuan dokter?

“Tampangmu terlalu serius” Tepat setelah menjawab itu warna lampu penyebrangan berganti hijau. Aku langsung berjalan mendahuluinya, tidak lucu jika dia bisa melihat rona wajahku.

***

“Untuk pertemuan bahasa Indonesia dua minggu lagi, saya sudah menyiapkan nama-nama dan anggota kelompok kalian. Ingat, Kalian harus mewawancarai orang-orang dengan pekerjaan yang bisa dibilang berpenghasilan rendah dan sertakan bukti foto kelompok kalian dengannya. Walaupun ini pekerjaan kelompok, essay nya tetap perindividu. Ingat deadlinenya dua minggu lagi. Mengerti?” Guru bahasa Indonesiaku dengan sekali tarikan nafasnya menjelaskan tugas kelompok kami. Tugas kelompok. Tugas kelompok. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang ditelingaku. Aku tidak suka tugas kelompok.

Kuperhatikan anggota-anggota kelompokku yang sedang duduk melingkar sekarang. Guru kami berbaik hati memberi 15 menit terakhirnya untuk saling berdiskusi dengan kelompok kami masing-masing. Si tuan dokter juga ada disini. Sekelompok denganku. Apa aku harus menarik prinsipku yang sudah membenci tugas kelompok sejak lama?

Dihari ke 155 ini, aku memperhatikan dia baik-baik memberi pengarahan pada kami. Dia memiliki jiwa pemimpin yang menyenangkan. Dan mulai mengarahkan tentang siapa yang harus kami wawancarai, kapan kami berkumpul lagi untuk menyusun pertanyaan dan dimana tempatnya. Disampingnya duduk wanita yang mengajakku berkenalan pertama kali dikelas ini. Syfa dan dia terlihat benar-benar akrab. Ini bukan kali pertama aku melihatnya begitu leluasa berbicara dan bercanda dengan Syfa. Sudah kukatakan berapa kali bahwa aku suka memperhatikan orang-orang sekelilingku? Syfa, wanita itu sebenarnya anak yang cukup baik, dia memang ramah dan berteman dengan siapa saja. Walaupun teman se-gengnya adalah orang-orang yang fashionable dan berisik, Syfa tetap saja terlihat manis dan anggun. Dia terlihat benar-benar berbeda diantara teman-temannya. Tau kan kartun-kartun Barbie yang cantik itu? semua temannya cantik, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Barbie tetap masih yang tercantik. Dia juga paling dapat diandalkan, dia pintar, peringkat ke dua dikelas setelah si tuan dokter itu.

“Jee bagaimana? Kau setuju?” ah? Apa yang mereka bicarakan?

“Kau melamun Jee?” Aku merutuki kebodohanku dan hanya menampilkan deretan gigi putihku dengan rasa bersalah

“Maaf”

“Jee minggu depan kita akan berkumpul dirumahku untuk menyusun daftar pertanyaan dan mengurusi hal lainnya. Sekalian wawancara juga. Menurutmu bagaimana? Kau bisa kan?” Syfa bertanya sambil tersenyum manis kearahku. Aku yang wanita saja mengakui cantiknya dia, bagaimana dengan anak lelaki ya?

“Baiklah. Tidak masalah.” Jawabku dengan senyum juga.

***

Aku terheran-heran melihat si tuan dokter ini sudah duduk manis diteras rumahku. Oh sial! kenapa bisa dia datang tanpa bilang-bilang? Aku baru saja selesai mencuci baju dan menyapu rumah. Aku bahkan tidak berani berkaca untuk melihat betapa lusuhnya aku diminggu pagi ini.

“Apa aku salah mengingat jam? Atau jam rumahku yang salah?” Tanyaku padanya. Walaupun otakku ini lamban, aku masih ingat dengan jelas kami berjanji akan pergi bersama ke rumah Syfa pukul satu siang. Dan sekarang jam dindingku masih diangka sebelas lebih lima belas menit.

“Aku hanya sedang bosan jika menunggu dirumah sendiri” Dia menggaruk tengkuknya yang dapat kupastikan tidak gatal itu

“Eoh? Baiklah, kau tunggu disini. Aku akan bersiap-siap secepat mungkin. Duduklah lagi” Dia hanya mengangguk dan kembali duduk. Menaikkan kacamatanya yang turun. Membuka kamus pocket bahasa Jepangnya.

Ya tuhan! dia masih sempat-sempatnya membawa kamus bahasa Jepang?

“Jee? Ada apa?” tanyanya heran melihatku belum beranjak dari tempatku berdiri tadi. Aku tidak menyahut dan hanya langsung masuk kedalam rumah cepat. Tidak tahu harus menjawab apa. Dan sebelum benar-benar bersiap, aku memberinya jus jeruk instant dan sedikit makanan ringan.

***

Aku sudah duduk dibangku yang berjarak satu meja bundar disamping kirinya sambil mengikat tali sepatuku dan memandangnya lagi yang masih asik dengan kamus Jepangnya.

“Kenapa harus bahasa Jepang?” Bibirku bergerak tanpa sadar.

“Sudah selesai?” Dia memasukkan kamus kecilnya kekantong depan bajunya

“Kenapa harus bahasa Jepang?” Tanyaku lagi. Aku benci diabaikan asal dia tahu saja.

“Entahlah, rasanya akan sangat berguna jika dipelajari. Seseorang bilang seperti itu padaku” Dia tertawa kecil

Sejak aku tau bahwa Jepang itu sebuah Negara yang bisa dikunjungi –bukan hanya tempat khayalan dimana anime tinggal. Aku memutuskan untuk kesana suatu hari nanti.

“Tentu sangat berguna. Jepang Negara yang indah” Aku menutup pagar setelah berpamitan dengan mama di dapur. Dia berjalan sedikit lebih cepat dariku memasuki mobil alphard hitamnya. See? dia bukan orang yang biasa-biasa saja sepertiku.

“Sebenarnya aku sangat tidak suka Jepang Jee. Terutama pria-pria cantiknya. Tapi aku cukup penasaran dengan perkembangan tekonologi yang cukup pesat disana” Lanjutnya menjelaskan padaku. Tipikal anak eksak sekali.

“Kau pasti ingin mengunjungi Jepang ya? Kapan?” Dia menghidupkan mesin mobilnya, dan kami membelah jalanan ramai didepan menuju rumah Syfa.

Aku berharap secepatnya dengan beasiswa. Tapi aku sadar otak biasaku ini akan membutuhkan waktu seumur hidup untuk mewujudkannya. Kuputuskan kesana dengan suamiku kelak.

Sepertinya menjawab-jawab didalam hati menjadi kebiasaan burukku yang baru sekarang.

“Sangat ingin. Menunggu ada seseorang yang akan mengajakku..”

“Bagaimana jika libur sehabis Ujian kelulusan?” Tanyanya tak sabar memotong penjelasanku. Aku tertawa geli memikirkannya.

“Apa kau berniat menikahiku setelah lulus SMA, tuan dokter? Ku kira tidak mungkin” Akhirnya tawaku pecah setelah melihat wajah kaget dan bodohnya pertama kali. Aku mengusap air mata yang keluar dari ujung mataku. Entah kenapa rasanya lucu sekali.

“A.. maksud.. mu?” Dia berbicara terbata-bata. Butuh 162 hari sejak aku pertama kali mengenalnya untuk melihat ekspresi seperti ini.

“Aku berniat kesana dengan orang yang sudah sah menjadi pendamping hidupku. Karena Jepang terlalu ku impikan, aku mau tempat itu juga menjadi salah satu tempat istimewa dengan orang yang kuanggap tak kalah istimewa bagiku nanti. Lain kali dengarkan sampai selesai, tuan dokter” Jelasku padanya dan dia hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ngomong-ngomong apa rumah Syfa sejauh ini?” Tanyaku memecah keheningan kami.

“Aku ingin membeli beberapa makanan ringan terlebih dulu”

Makanan ringan apa yang butuh jarak sejauh ini?

***

Kami sudah berada dirumah Syfa, tentu jadi orang yang paling awal datang. Dan disini pertama kalinya aku tau bahwa Syfa dan dia adalah sahabat sejak kanak-kanak. Rumah Syfa dulu adalah rumah yang kutempati sekarang. Ayah mereka ternyata sudah berteman sejak masih di sekolah menegah pertama, sempat berpisah beberapa waktu setelah menikah namun dipertemukan lagi saat masing-masing isteri mereka mengandung Syfa dan si tuan dokter. Dan makanan yang kami –maksudku si tuan dokter beli adalah makanan kesukaan Syfa. Well, aku menyesal datang secepat ini. Disini, dirumah ini hanya aku yang orang asing dan canggung, sedang mereka malah asik bercanda. Oh tuhan tolong percepat waktu!

Setelah bermusyawarah atas segala hal tentang tugas kelompok kami dan menyelesaikan wawancara, aku pun langsung meminta izin untuk pulang lebih dulu. Sungguh, berlama-lama diantara mereka hanya akan membuat kuping dan mataku panas.

Aku tersentak tiba-tiba dan reflek memberhentikan langkah kakiku. Kenapa aku kesal pada mereka? Mereka kan memang teman sejak kecil. Memangnya aku ada hak apa untuk merasa risih? Aiish! Ku acak-acak rambutku gusar dan bingung kenapa bisa pikiranku sekacau ini.

Tunggu! Memangnya kenapa kalau aku risih? Kan perasaan itu anugerah dari tuhan. Memang siapa yang bisa menebak akan jatuh cinta ditempat yang benar atau salah?

Aku membekap mulutku cepat. Apa yang baru saja ku katakan? siapa yang jatuh cinta? Ya ampun Jee, untung saja kau mengucapkannya hanya didalam hati. Tapi tetap saja ini cukup membuatku berantakan.

***

Hari ke 255 dikota dan sekolah ini. Aku masih berteman baik dengan Syfa dan si tuan dokter. Bahkan kami masih sering pulang bersama. Kami masih berkomunikasi dengan baik dan saling menanyakan kabar satu sama lain. Mungkin yang berbeda sekarang hanya aku dan perasaanku. Hanya aku dan kekagumanku. Dan hanya aku dengan seribu satu kebiasaanku mengamati si tuan dokter yang tak bisa kuhilangkan.

Kalau kau mau tau bagaimana rasanya jadi aku, tak akan ku beri tau sedikitpun. Karena walau bagaimanapun ini cukup menyenangkan –kecuali rasa cemburu dan iri tentu saja. Heii percaya padaku, jatuh cinta tidak seburuk itu. Saat kau jatuh cinta kau bisa menjadi lebih bersemangat, lebih banyak tersenyum, dan terkadang rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan diperutmu. Aku menceritakannya semudah itu agar memiliki teman seperjuangan ‘secret admirer’ jadi tolong jangan berhasil dalam cintamu karena itu menyakitiku.

Maaf, lupakan apa yang baru saja kukatakan. Jika diluar sana kau sedang jatuh cinta, jangan ragu memperjuangkannya dengan cara yang sebaik-baiknya ya, Fighting!^^

Hari ini Syfa mentraktirku makan dikantin, dia bilang dia baru saja mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkannya dan ingin berbagi kebahagiaan dengan teman baiknya. Ya, tentu si tuan dokter ikut juga dan aku sudah terlambat untuk berubah pikiran. Sungguh sialan sekali. Dan lihat sekarang? Mereka bagai kekasih yang sudah tidak bertemu sebulan karena jarak antara planet Mars dan Bumi yang jauh. Mereka mengabaikanku disini! Dan ini sudah kesekian kalinya aku diabaik. Aku benci diabaikan, tolong mengertilah. Apa maksudnya memberiku makanan untuk menutup mulut cantikku ini berkomentar dengan kedekatan mereka? Baiklah kurasa aku sudah berubah menjadi si pemeran antagonis sekarang.

“Kau terlihat terlalu bahagia hari ini Fa”

Dan harusnya kau melihat muka masamku ini dan menanyaiku juga, tuan dokter.

“Ya, tentu saja. Kau pikir kenapa aku bisa mentraktirmu dengan suka rela begini?”

“Hahaha benar juga. Kau kan pelit”

Diantara candaan mereka aku masih fokus menghabiskan bakso didepanku ini. Sambil memikirkan bagaimana cara keluar dari arena “obat nyamuk” mereka secepatnya. Gila saja, kau kira aku akan tahan melihat acara lovey dovey mereka?!

“Cepat beritahu aku apa yang begitu membuatmu sesenang ini”

Tuan dokter, oh ayolah, jaga tampang cool mu itu. Saat ini kau benar-benar terlihat seperti pemuja wanita kelas berat. cukup menjijikkan asal kau tau saja.

“Aku tak yakin kau akan sama bahagianya denganku jika kukatakan” Syfa menunduk dalam. Wah, wah apa ini? Apa mereka dijodohkan dan semacamnya? Ku lirik si tuan dokter, dan dia sama terkejutnya denganku.

“Cepat katakan. Jika itu baik untukmu, akan ku pertimbangkan” Kali ini aku yang terkejut bukan main. Cara dia berbicara, menatap gadis itu, mencemaskannya dan perkataan tegasnya, ya Tuhan, apa aku masih salah jika aku sangat cemburu dengan wanita yang terlihat dicintainya ini? Mereka lebih terlihat seperti pasangan kekasih dari pada sahabat kecil.

Ku rasakan dada kiriku nyeri sekali dan susah untuk menarik nafasku sendiri. Aku yakin aku masih terlihat biasa-biasa saja –karena mereka tidak mungkin memperhatikanku. Tapi tetap saja, rasanya sangat menyakitkan.

Tuhan, lain waktu saat aku jatuh cinta dengan pria yang seperti dia lagi, ku mohon jangan bertepuk sebelah tangan lagi, jangan menjadi secret admirer lagi. Karena dikesempatan itu, aku tak bisa memastikan apa aku akan tetap setegar ini.

“A, aku, Papa, Papa mengizinkanku mengambil kuliah bisnis dan tidak harus mengurus rumah sakitnya. Kau tau kan? Aku senang sekali” Syfa menitikkan air matanya.

“Dan yah, tentu ada syarat dari Papa. Papa bilang dimasa depan aku harus menemukan dokter pria yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya untuk mengurus rumah sakitnya”

Hanya sepersekian detik, dapat kulihat si tuan dokter memeluk Syfa dengan erat. Tangis wanita itu pecah dan membasahi bahunya.

Kau tau apa yang lebih menyakitkan dari ini? Hatiku hancur dan remuk. Mataku mulai memanas dan aku tentu tak bisa menahan airmataku lagi yang mengalir dengan derasnya. Tapi dengan bodohnya aku beranjak mendekati Syfa dan menepuk-nepuk pundaknya sambil berkata “Kuatlah demi cita-citamu fa, kuharap suatu saat aku juga sekuat itu demi mimpi-mimpiku” dan dia hanya mengangguk dengan wajah manisnya yang masih terus mengeluarkan air mata, didekapan si tuan dokter.

Setelahnya kami lanjutkan makan ronde kedua dengan wajah yang lebih ceria –dan aku dengan patah hati yang tersembunyi. Aku ikut tertawa mendengar cerita masa kecil mereka sampai-sampai air mataku keluar. Dan aku kembali ingat bagaimana kerasnya lelaki yang sedang duduk disamping Syfa ini ingin menjadi dokter. Dia tengah menatap Syfa dengan sayang dan mengusap kepalanya. Sementara Syfa masih terus melanjutkan cerita-ceritanya padaku.

Kau harus tau konsekuensi jatuh cinta dulu sebelum berani untuk memulainya. Ini hanya salah satu dari sekian banyak resiko yang bisa diterima kapan saja oleh siapa saja. Aku sering mendengar orang-orang bilang bahwa cinta tak harus memiliki. Tawaku nyaring sekali saat tau bahwa begitu banyak orang yang percaya, memakai kata tersebut untuk memberi alibi pada kesakitan hati mereka sendiri. Bagiku, cinta haruslah memiliki. Jika tidak bisa memiliki, itu patah hati namanya, itu bukan cinta, cinta itu bahagia bukan luka. Jika dia memberimu luka, jangan mencintainya lagi. Aku memegang konsep ini dari dulu, tapi pada akhirnya aku tetap mencintai dia, yang memberiku luka.

***

Ini adalah hari terakhirku bersama dengan teman-teman sekelas yang masih saja kuanggap baru. Setelah ujian dan menerima surat kelulusan, kami memutuskan untuk mengadakan acara makan-makan melepas semua kenangan yang akan berpencar mengikuti sipengingat kemana pergi. Aku bersyukur dapat melewatkan hari-hariku dengan baik disekolah ini, memiliki teman-teman yang walaupun tidak akrab tapi tetap menganggapku ada, dan mendapatkan kisah cinta pertamaku disini.

Kami bersalaman dan saling berpelukan untuk beberapa orang ini mungkin menjadi kali terakhirnya karena belum bisa memastikan kapan akan bertemu lagi nanti. Ku lihat teman-temanku mulai menitikkan air mata pilu dan saling mendoakan ‘panjang umur’ ‘ayo sukses bersama’ dan ‘mari bertemu dengan keadaan yang lebih baik dimasa depan nanti’.

Ya, mari bertemu dengan keadaan yang lebih baik dimasa depan nanti.

Acara mengharu biru ini kami tutup dengan dua nyanyian sejuta umat, Kisah-kasih disekolah dan lagu kemesraan. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, airmataku masih terus mengalir padahal teman-teman lelakiku menyanyikan lagunya dengan cara terlucu mereka untuk menghentikan air mata para gadis disini. Tapi bukannya berhenti, kami malah semakin menjadi-jadi. Aku tertawa menyadari kekonyolanku, kekonyolan mereka.

“Jee, hasil tes universitasmu bagaimana?” Ya, kami kembali berjalan pulang bersama. Aku sempat menolak mengingat tidak enak hati dengan Syfa –atau dengan hatiku sendiri. Tapi dengan pemikiran ‘mungkin ini yang terakhir kalinya’ aku mengangguk saja.

“Kau akan shock begitu mendengar jawabanku” Aku tersenyum dan menggenggam tali sling bag ku erat. Kami pulang dengan berjalan kaki karena sama-sama merasa lebih nyaman menggunakan bus. Sebenarnya kalau aku sih, karena tidak memiliki kendaraan pribadi.

“Benarkah? Cepat beritahu. Aku lebih ingin shock saat mendengarnya dari pada harus mati karena penasaran” Dia lucu sekali, bagaimana bisa jawabanku membuatnya sepenasaran itu?

Aku tertawa remyah dan mengayun-ayunkan langkahku riang. Setelah cukup jauh didepannya, aku menengadahkan kedua tanganku kedepan, berharap dapat menangkap dedaunan yang gugur dengan suka rela ke tanganku. Angin bertiup kencang saat aku sadar dia sudah berdiri disamping kananku.  Membuatku bermohon lagi seperti waktu itu untuk dapat menangkap angin dan memasukkannya ke dalam botol. Menyimpan semuanya untuk diriku sendiri.

“Jee…”

“Aku diterima di singapore University. Padahal aku juga meng-apply pendaftaran ke Jepang tapi ternyata gagal. Apa mereka tidak tahu aku sangan menyukai Negara..” Aku menghentikan ucapanku saat si tuan dokter ini dengan sesuka hatinya menyentil dahiku

“Bersyukurlah kau tidak diterima di Jepang. Aku tidak bisa membayangkan akan betapa malunya Indonesia nanti” Dia tertawa mengejekku dengan kaya angkuhnya yang sangat menyebalkan. Well, aku sedikit lebih pintar sekarang –aku belajar mati-matian demi mengejar yang namanya ‘mimpi’. Mainstream sekali kan?

“Dasar sombong. Kau kira karena sudah diterima menjadi mahasiswa kedokteran di London dengan beasiswa mu itu kau bisa bersombong-sombong menjijikkan seperti itu didepanku? Dasar sok!” Aku mengejarnya yang berjalan cepat didepanku untuk menyambung ceramahku dan memberi sindiran-sindiran tajam padanya.

Bughh..

Si dokter bodoh ini, apa dia tidak tau badannya sangat besar dan keras malah berhenti mendadak begitu saja.

“Dengar ya, kurcaci Jee. Seberapapun usahamu, aku tetap saja akan jauh-jauh-jauh-jauh bahkan sangat jauhhhh lebih pintar darimu” Dia menundukkan sedikit badannya dihadapanku. Pandangan kami bertemu. Matanya cantik, sungguh. Dan aku tak sanggup membalas lagi semua perkataannya. Aku membalas senyumnya sebaik mungkin, menutupi airmataku yang sangat ingin ku tumpahkan. Tapi tidak didepannya, cukup saat melihatnya memeluk Syfa waktu itu saja.

Flashback On

            Setelah acar makan-makan dan traktiran Syfa, kami pulang bersama. Si tuan dokter katanya ada kursus dan memilih pergi lebih dulu. Aku bingung harus memulai pembicaraan seperti apa bersama Syfa. Biasanya si tuan dokter yang selalu lebih dulu menanyaiku.

“Jee mengapa tadi kau ikut menangis?” Dia blak-blakan sekali. Menyebalkan.

“Aku juga tidak tau, tapi rasanya melihatmu menangis tadi, airmataku tidak bisa kutahan” tentu saja tidak, karena aku patah hati –sambungku dalam hati. Aku tersenyum samar padanya

“Kau ini ada-ada saja. Awalnya aku tidak percaya tapi benar yang dikatakan sahabat berkacamataku itu, kau tidak secuek penampilanmu” Dia tersenyum manis kepadaku.

“Ah ya Jee.. ngomong-ngomong soal sahabat kecilku itu..”

“Kau menyukainya kan?” Jangan Tanya mengapa aku bisa berani menanyakan hal ini. Aku sendiri mengutuk mulut cantikku yang bodoh ini.

            Kulirik kearah Syfa, awalnya dia sedikit terkejut, mungkin karna aku mengetahui isi hatinya? lalu dia kembali tersenyum ke arahku dengan lebih mengembang. Bahkan terkekeh geli setelahnya. Aku ikut-ikutan menarik senyumku dengan mataku yang kembali berarir. Ya, siapa yang tidak akan menangis? Hari ini aku mengetahui banyak hal dan patah hati berulang kali.

“Kau benar Jee..”

Sungguh terlihat dari bagaimana caramu menatapnya, Syfa. Asal kau tau saja, aku pengamat yang baik. Terlebih untuk orang yang sudah berhasil membuatku jatuh cinta.

            Kami bertukar pandang dan saling tertawa. Entah apa yang lucu. Dan kembali menyusuri jalan didepan kami dengan pikiran masing-masing.

***

Kami sudah sampai di belokan terakhir komplek rumah kami masing-masing. Kekanan adalah rumahnya, dan belok ke kiri jarak 4 rumah adalah rumahku. Aku kembali tersenyum lagi, senyuman perpisahan sebelum benar-benar akan menangis sejadi-jadinya dikamarku nanti. Ayolah, hatiku sudah sangat penuh sesak.

“Sampai kapan kita tetap berdiri disini? rumah kita didua jalur yang berbeda.” Aku mendorong punggungnya pelan, biar saja dia yang duluan berbalik meninggalkanku. Aku masih ingin mengamati punggung itu, untuk terakhir kalinya.

Dia mendadak berbalik dan memegang kedua tanganku yang mendorongnya tadi. Aku reflek menarik tanganku dari genggamannya.

“Yak! Kau mengagetkanku saja! Bagaimana jika tangan cantikku ini patah tuan dokter yang ceroboh?” Bodoh. bodoh. Bagaimana bisa dia berbalik mendadak seperti itu? Hampir saja airmataku menetes tadi. Apa dia sadar tanganku sudah bergetar hebat saking gugupnya?

“Kita belum saling mengucapkan salam perpisahan, kurcaci Jee” Dia mengacak rambutku gemas. Dan aku hanya merengut kesal melihatnya. Ku pastikan, jika Syfa melihat ini, dia pasti akan menyumpahiku didalam hatinya.

“Mari berusaha lebih keras untuk impian-impian kita Jee. Dimasa depan nanti, ayo bertemu dengan jalan hidup yang sudah kita pilih dan saling tersenyum.” Ku mohon untuk kali ini, berhentilah waktu. Atau paling tidak buat lelaki didepanku ini menjadi patung sejenak. Jika saja bisa, aku ingin memeluknya erat.

“Ya, pasti menarik jika kita bertemu dan sudah memiliki jalan hidup masing-masing. Apa aku harus menemukan pasangan dulu baru boleh menemuimu?” Aku tertawa geli dengan pertanyaanku sendiri.

“Aku malah ingin melihat sendiri bagaimana kau menyeret lelaki itu ke Jepang” Dia tertawa kuat sekali. Membuatku ingin meninju kotak tertawanya itu.

“Ya, ya, tertawalah sepuasmu. Ku pastikan kau akan menikmatinya nanti” Aku berbalik dan melangkahkan kaki ku menuju rumah. Airmata ini sungguh menjengkelkan sekali.

“Sampai bertemu lagi Jee. Fighting!”

“Fighting!” Aku membalas ucapannya tanpa berbalik. Padahal tadi rasanya ingin sekali menjadi yang terakhir memandanginya berjalan.

Ngomong-ngomong aku jadi penasaran, apa kau tau betapa gugupnya aku saat kau mengajakku berbicara? Seberapa aneh tampangku saat tertawa didepanmu untuk menghilangkan rasa gugupku? Seperti apa aku dipandanganmu? Bagaimana detak jantungmu, apakah sama menggebunya dengan punyaku?

Tidak, tentu aku tau semuanya tidak. Mana mungkin kau tau semua itu dan pertanyaan terakhirku terdengar konyol sekali.

Sedangkan aku? Jangan ditanya lagi, aku selalu melihat lamat-lamat setiap hal yang kau lakukan, termasuk saat kau terlihat begitu mencari alasan untuk berbicara “dengannya”.

Anehnya aku mengagumi caramu berbicara dan tersenyum pada gadis lain.

Baiklah, tak apa, aku juga tak pernah berfikir untuk menjadi seperti gadis itu. Tak berminat sedikitpun untuk menggantikan posisinya.

Berbahagialah!

 

 

 

EPILOG

Mau kuceritakan satu kisah menarik? Terlepas dari semua hal yang sudah terjadi dan tidak mungkin diulang kembali. Kecuali aku diberi kesempatan lagi dimasa depan. Hahaha sudahlah, mari dengar ceritaku.

 

Hari itu, genap hari ke 124 aku mengenal sekolah ini dan segala macam seluk-beluknya. Hari itu, entah kenapa rasannya aku ingin sekali ke perpustakaan sekolah. Begitu jam pelajaran kedua olahraga selesai, tanpa menunggu teman-temanku aku bergegas ke masjid. Lalu kembali ke kelas lagi, lupa mengganti baju olahragaku yang penuh keringat ini. Jee yang selalu ceroboh. Tak apa, masih pukul 08.20. Aku kembali dengan tergesa-gesa nya berganti baju dan menyeka keringatku. Dan lagi, harus kembali kekelas. Si bodoh Jee lupa meminta izin ke perpustakaan pada sekretaris kelas. Tidak lucu jika harus dihukum dimata pelajaran yang lebih menyebalkan dari melihat lubang hidung voldemort, Kimia. Tapi setelahnya aku senang sekali, hari ini kami diperbolehkan pulang lebih awal karena guru-guru akan rapat.

“ Jee, kau baik-baik saja?” Anya bertanya padaku, mungkin dia mengira aku gila.

“Aku sedang bahagia Anya. Tentu ini tergolong baik-baik saja kan?” Jawabku dengan tersenyum semakin lebar. Anya hanya terheran-heran melihat tingkahku. Sebegitu bahagia kah tidak bertemu kimia?

***

Aku sudah menemukan buku yang kucari dan entah kenapa rasannya aku masih ingin berlama-lama diperpustakaan ini.Suasana tenang dan sejuknya AC perpustakaan sungguh ketenangan. Setelah puas beristirahat dan membaca buku sastra yang niatnya ku pinjam ini, aku keluar dari perpustakaan. Rasanya nikmat sekali. Ternyata tidak harus ke spa untuk mendapatkan penyegaran badan dan pikiran. Yosh! Mari melangkah pulang!

Pandanganku berhenti di satu tempat di ikuti arah tubuhku. Memperhatikan  seorang lelaki bertubuh jangkung dengan kacamata angkuhnya duduk dibangku kayu depan perpustakaan ini. Aku berharap dalam hati untuk semenit saja waktu bisa berhemti –ya, jujur saja sepertinya aku terlalu banyak ingin menghentikan waktu setelah bertemu dengannya.

“Sudah selesai Jee?” Aku tersentak kaget. Inikan belum semenit, kenapa dia sudah bergerak sih? Oh Jee yang bodoh, kau kira permohonan bodohmu itu akan terkabul dengan bodohnya?

“Sudah selesai Jee?” Tanya nya lagi, kali ini dengan sebuah senyuman.

Dapatkah dia selalu tersenyum seperti itu didepanku? Hanya padaku tentu saja

“Ah iya, Memang ada apa?” Aku berusaha menanggapi nya setenang mungkin. Meminimalisir rasa gugupku. Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia tau bahwa aku begitu gugup didepannya. Mungkin aku akan memindahkan wajahku agar tidak bisa dilihatnya lagi.

“Ayo pulang kalau begitu.” Kali ini dia sudah memasukkan ponsel pintarnya ke saku dan berdiri mendahuluiku.

Tunggu. Tunggu. Apa ini artinya dia menungguiku dari tadi?

“Kau menungguiku?” Tanyaku ragu setelah berhasil menyamakan langkahku disampingnya.

“Ya. Tidak sengaja melihatmu pergi ke perpustakaan juga.” Jawabnya cuek

“Maaf, aku pasti tadi lama sekali” Aku tidak sepenuhnya merasa bersalah, entah kenapa rasanya justru bahagia. Seperti ada kupu-kupu yang bertebangan diperutku memaksa untuk keluar.

“Tidak apa Jee. Pulang sendirian juga rasanya membosankan. Bukankah kita sudah sepakat untuk lebih akrab?” Dia mengacak poniku sambil tersenyum lagi. Masih senyum yang sama manisnya seperti tadi. Dan mulai melangkah berjalan lebih dulu didepanku.

Dia, lelaki yang berjalan didepanku ini, yang katanya sungguh ingin menjadi dokter hebat. Kenapa dia bisa membuat jantungku seperti ingin meledak? Sungguh, apa dia berniat menjadikanku pasien pertamanya secara cuma-cuma? Tidak lucu sama sekali.

Dan terhitung dari detik aku melihatnya duduk dibangku kayu depan perpustakaan tadi, aku tak dapat menyangkal rasa sukaku padanya. Ini jauh lebih indah dari cerita-cerita yang terdapat dikarangan para penulis diluar sana. Ya, hari ke-124 disekolah ini, Jee jatuh cinta untuk pertama kalinya.

-END-

 

a first love’s story from silly girl,

Jee.